Advertisemen
Ilustrasi |
Oleh: Yusri Razali
Tapileh.com | Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ingin rakyatnya makmur dan sejahtera, maka sebuah negara harus mempunyai pemimpin yang jujur, cerdas, amanah serta menyampaikan kebenaran.
Tapi jika yang terjadi sebaliknya, pemimpin tidak jujur, bodoh,
tidak amanah (korup) serta menzalimi rakyatnya, maka yang terjadi adalah
kesengsaraan bagi rakyatnya.
Umat islam sudah punya pedoman jelas dalam memilih atau menjadi seorang pemimpin yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Paling tidak ada dua hal yang mesti dipahami oleh umat Islam tentang hakikat kepemimpinan.
Pertama,
kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang
pemimpin dengan rakyatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan
Allah SWT.
Kepemimpinan itu buka sesuatu yang dikejar atau di
perebutkan, karena pada hakikatnya itu adalah amanah atau titipan dari Allah
SWT. Sebab, dalam kepemimpinan itu akan melahirkan kekuasaan atau wewenang yang
gunanya hanya untuk melaksanakan tanggung jawab dalam melayani rakyatnya.
Semakin besar kekuasaan seseorang pemimpin, seharusnya semakin
meningkat pula pelayanan terhadap rakyatnya. Bukan terjadi sebaliknya, kekuasaan
itu digunakan untuk memperkaya diri atau kelompoknya, zalim dan sewenang-wenang
terhadap rakyatnya. Balasan atau upah seorang pemimpin bukan kekayaan dan
kemewahan hidup di dunia, melainkan hanya balasan dari Allah SWT di akhirat
kelak.
Sahabat Rasulullah, Abu Dzar pada ada sutu ketika meminta sebuah jabatan kepda Rasulullah, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)” (H.R. Muslim).
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika seseorang sahabatnya meminta suatu jabatan kepada beliau, dimana orang tersebut berkata:
“Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu”. Kemudian, Rasulullah menjawab: “Demi Allah kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu” (H.R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan merupakan lawan dari penindasan, penganiayaan serta pilih kasih. Keadilan itu jangan hanya dirasakan oleh sebagian pihak dan golongan, tapi keadilan itu harus dirasakan oleh semua golongan rakyatnya.
Diantara bentuknya adalah dengan mengambil
keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani
semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar
belakang.
Oleh sebab itulah Islam sudah memberikan petunjuk yang jelas
dalam menentukan atau memilih seorang pemimpin yang baik. Allah SWT sudah jelas
menyebutkan dalam Al Qur’an untuk memilih pemimpin yang baik dan beriman:
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu (walimu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. At Taubah: 23)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90).
Wallahua’lam Bissawab.